January 19, 2012

FSS' Short Story Festival

Cerpen ini adalah cerpen yang pada Oktober 2010 lalu saya kirimkan ke Festival Seni Surabaya. Tidak mendapat penghargaan apa-apa memang, bahkan saya sangsi apakah e-mail saya yang berisi file cerpen ini sampai atau tidak ke panitia festival, karena tidak ada konfirmasi, pemberitahuan ataupun semacamnya yang menyatakan cerpen saya diikutsertakan dalam Festival tersebut. Tapi bukan itu yang penting. Harapan saya hanyalah, semoga makna dan tujuan yang ingin saya sampaikan lewat cerpen ini memang benar-benar dapat tersampaikan dengan baik.


INDAHNYA KEPEDULIAN


“Mak, Dito lapar..” Rintih Dito dalam pelukan ibunya. Maisaroh, ibu Dito mengelus pelan kepala anaknya.
“Sabar, Nak. Uang emak belum cukup untuk membelikan kamu makanan..” ucapnya sambil terisak. Dito masih merintih pelan karena kelaparan. Maisaroh hanyalah satu dari banyak warga miskin yang bahkan tidak memiliki tempat tinggal. Ia hanyalah seorang pemulung, janda dengan satu anak berumur tujuh tahun yang terpaksa tidak disekolahkannya karena tidak mempunyai uang. Dan ironisnya, Maisaroh hanyalah satu dari sekian banyak orang miskin di kota itu.

* * *


“Bi Inaaaaaah...” Andine berteriak keras dari kamarnya. Bi Inah yang sedang menyetrika baju cepat-cepat membereskan baju yang telah selesai disetrikanya.
“Bi Inaaaaaaah. Budek, ya? Kesini dong!” Andine berteriak lagi, kali ini dengan suara yang lebih kencang. Dengan tergopoh-gopoh, Bi Inah naik ke lantai atas untuk menemui ‘Nona Besar’nya itu.
Andine adalah satu dari banyaknya orang yang terbiasa hidup dalam kemewahan, yang selama ini bahkan tak pernah menoleh sedikitpun pada orang-orang kecil. Padahal, saat ini Andien kuliah di fakultas hukum, dan seharusnya rasa sosial Andine bisa lebih baik dari kebanyakan orang lainnya. Andine adalah seorang yang pintar dalam banyak hal. Namun ia angkuh, mudah tersulut emosi, dan keukeuh akan pendapat-pendapatnya. Andine telah terbiasa dimanjakan oleh orang tuanya, dan terkadang bersikap tidak hormat pada orang lain, termasuk pada orang yang lebih tua darinya sekalipun.

* * *


“Alhamdulillah..” Maisaroh tersenyum bahagia. Saat memulung tadi, ia menemukan sebungkus nasi padang disalah satu tempat sampah. Ia bersyukur, karena itu berarti, hari ini Dito bisa makan. Cepat-cepat Maisaroh kembali ke tempat dimana Dito sedang tidur di salah satu emperan toko elektronik.
“Dito.. Nak, ayo bangun. Emak bawakan makanan untuk kamu..” Maisaroh mengguncang pelan bahu anaknya itu. Dito terbangun dan wajahnya menjadi cerah seketika. Jarang sekali Emak membawakannya makanan seperti ini, biasanya hanya kerupuk yang terkadang bahkan sudah melempem.
“Terimakasih, Mak..” Dito mengambil bungkusan dari tangan ibunya dan makan dengan lahap. Kebahagiaan Dito adalah segalanya bagi saya. Saya harus bisa membahagiakan Dito..


“Saya rasa, keadilan itu adalah hal yang relatif. Kita adil, asal ada alasan yang kuat untuk menegaskan bahwa hal itu adil. Dan tidak selamanya kebenaran bisa menjadi pangkal keadilan.” Andine mengutarakan pendapatnya didepan dosen dan teman-temannya dikelas sore ini.
“Maaf, bagaimana Anda bisa mengatakan kebenaran tidak selalu menjadi pangkal keadilan? Justru adil yang benar-benar adil itu bersumber dari kebenaran!” dosen Andine kaget mendengar pendapat muridnya itu.
“Saya berani mengatakan ini, karena saya memang benar, Prof! Lihat saja contohnya, mengapa jika ada orang miskin yang tidak memiliki uang, mereka jarang sekali menang di pengadilan? Karena mereka memang tidak pantas dibela! Mereka tidak memiliki apa-apa untuk membalas kita, calon-calon pengacara. Saya, sih, tidak bersedia untuk itu, Prof. Dan kemiskinan itu juga salah mereka, mengapa mereka tidak berusaha untuk mencari pekerjaan? Kita semua saja bisa. Tapi, mengapa mereka tidak? Ya karena mereka tidak berusaha, jadi tidak dapat penghidupan yang lebih baik.” Andine masih berusaha untuk mempertahankan pendapatnya.
“Tapi itu tidak benar, Andine. Mereka justru butuh keadilan. Dari siapa mereka akan mendapatkannya? Dari siapa mereka bisa mendapatkan penghidupan yang layak? Dari kita. Kita yang memperjuangkan hak-hak mereka. Kita yang membela mereka. Kita harus menjadi orang sosial yang peduli pada masyarakat luas. Justru seorang pengacara dibentuk untuk melakukan poin-poin itu. Membela apa yang benar, dan menghargai semua orang tanpa terkecuali.” sang Dosen menjelaskan lagi. Andine membuang muka.
“Tetap saja, Prof. Saya rasa, semua hal yang kita lakukan di dunia ini harus ada rewardnya. Pada intinya, keadilan tetaplah hal yang relatif bagi saya.” Andine tetap mempertahankan pendapatnya. How stubborn you are, kid, batin sang Dosen.

* * *


Andine menggebrak setir pelan. Sialan, batinnya. Mobil yang dikendarainya mogok dan lagi, didaerah yang cukup sepi dan tidak terlihat bengkel dimanapun. Andine keluar dari mobil, membuka kap, dan mencoba untuk melihat apa yang membuat mobilnya itu mogok. Namun Andine tidak menemukan masalahnya. Ia duduk diujung kap mobil sambil bergumam kesal. Telepon genggamnya juga mati karena lowbat. Andine tidak bisa menghubungi siapa-siapa. Nggak tepat banget sih mogoknya. Sial banget.
Maisaroh sedang memulung disalah satu tempat sampah taman saat dilihatnya Andine yang sedang terdiam diujung kap mobilnya. Ia mendekati Andine, merasa iba karena memang didaerah sini tidak terdapat bengkel mobil.
“Kenapa, Mbak? Mogok toh mobilnya?” Maisaroh menyapa halus pada Andine. Andine terkejut setengah mati. Iih, ngapain deh ini pengemis deket-deket kesini? gumamnya.
“Apa urusan Anda? Pergi, sana.” Andine mengusir Maisaroh dari hadapannya.
“Apakah Mbak ini membutuhkan bantuan? Didekat sini tidak ada bengkel, Mbak.” Maisaroh masih mencoba untuk ramah. Ia berniat untuk menawarkan bantuan pada Andine.
“Iya saya butuh bantuan, tapi bukan dari Anda. Pergi, sana.” Andine semakin merasa jijik. Baju kucel dan sendal jepit serta karung yang sepertinya cukup berat yang dibawa Maisaroh dipunggungnya semakin membuat Andine tidak suka. Dari dulu, ia memang tidak suka pada orang-orang miskin seperti Maisaroh.
“Saya bisa memberi bantuan, Mbak. Saya akan cari bengkel terdekat dari sini. Apa Mbak mau saya bantu?” Maisaroh masih bersikap ramah.
“SUDAH SAYA KATAKAN, SAYA TIDAK BUTUH BANTUAN ANDA. Cukup pergi dari hadapan saya. Saya muak melihat pakaian anda yang ‘kurang bahan’ itu. Pergi!” Andine mendorong Maisaroh sampai jatuh. Airmata menggenangi mata Maisaroh. Ia pun berlalu.
Diujung jalan dekat pangkalan ojek, Maisaroh memutuskan untuk memanggil Imran, salah satu tukang ojek yang mangkal di pangkalan itu.
“Ibu, sedang apa disini?” Imran menyapa Maisaroh ramah. Bagi Imran, Maisaroh adalah seorang yang baik. Sayang nasibnya tidak sebaik hatinya.
Habis mulung, Ran. Aku arep njaluk tolong, iso? Ono wong nang ujung jalan kono, mobil’e mogok. Tolong cariin bengkel sing deket, suruh orang bengkelnya dateng karo ujung jalan’e. Kasian wong iku, cah ayu e’. Ndak apik sue-sue nang kono dewean, takut ono sing ganggu.” (Aku mau minta tolong, bisa? Ada orang diujung jalan sana, mobilnya mogok. Tolong kamu carikan bengkel yang terdekat, minta orang bengkelnya datang ke ujung jalan situ. Kasihan dia, anak perempuan, pula. Tidak baik dia lama-lama disana, takut ada yang ganggu nanti.)
“Wah, bisa, Bu. Bisa. Dengan senang hati.” Imran mengangguk ramah.
Maturnuwun, Ran.” (Terimakasih, Ran). Maisaroh tersenyum dan kembali ke emperan toko untuk menemui Dito.

Imran segera melakukan apa yang diminta oleh Maisaroh. Ia mencari bengkel terdekat dan mendatangi tempat dimana mobil Andine mogok bersama beberapa tukang bengkel. Andine sedikit heran tiba-tiba ada orang datang dan mau memperbaiki mobilnya. Karena ia merasa tidak meminta bantuan siapapun sejak tadi.
“Mbak ini, yang mobilnya mogok, toh? Ini saya antarkan orang-orang bengkel untuk mbaikin mobil Mbak.” Imran mendekati Andine. “Tapi saya tidak merasa meminta bantuan siapapun dari tadi. Darimana anda tahu mobil saya mogok?” Andine bertanya heran.
“Oh, itu. Tadi Ibu Maisaroh yang ngasitau saya, ada mobil mogok diujung jalan sini. Terus dia suruh saya ke bengkel untuk manggil mereka buat mbaikin mobil Mbak.”
Maisaroh? Siapa dia? Apa jangan-jangan...? tiba-tiba, hati nurani Andine terbuka. Padahal tadi gue udah kasar banget sama dia. Ya, Tuhan..
“Baik, terimakasih, Pak. Ibu Maisaroh? Kalau saya boleh tahu, rumahnya dimana, ya?” Andine bertanya pelan.
“Oh, Ibu Mai ndak punya rumah, Mbak. Tapi biasanya, dia nggelar tikar di sekitar emperan toko elektronik dekat Sanur situ. Kenapa memangnya?”
“Tidak punya rumah, Pak? Jadi selama ini tinggal dimana?” Andine kaget bukan main.
“Iya, Mbak. Ya makanya kan saya bilang tadi, dia biasa nggelar tikar. Dia punya satu anak, Dito. Sakit-sakitan itu, Mbak. Saya suka ndak tega. Saya bilang sama ibu untuk ngontrak rumah saja, tapi dia tidak mau. Ndak punya uang katanya. Ya apalah artinya kami, Mbak, rakyat-rakyat kecil seperti ini. Untuk makan saja susah.” jelas Imran.
Apa yang bisa gue lakuin buat Bu Maisaroh..? Ya, Tuhan.. Betapa salahnya gue selama ini berpendapat yang buruk sama orang-orang miskin. Justru dari sini gue belajar, bahwa meskipun sederhana, banyak dari mereka yang tanpa pamrih membantu orang lain.. Gue harus bantu Ibu Maisaroh, kalau perlu sama orang-orang lain yang bernasib sama dengan Ibu Maisaroh..
“Bapak keberatan jika mengantarkan saya bertemu dengan Ibu Maisaroh?”
“Ooh. Ndak, Mbak. Mari, mari. Nanti saya antarkan.”
Sejak saat itu, kehidupan Andine tidak pernah sama lagi.

* * *


Andine belajar banyak dari Maisaroh. Ia diajak untuk melihat bagaimana keadaan orang-orang miskin dikota itu. Betapa mereka sebenarnya merindukan pekerjaan, namun banyak dari mereka yang bahkan tidak memiliki keterampilan apa-apa. Setiap cerita yang keluar dari mulut Maisaroh membuat Andine semakin lama semakin menyadari, betapa hidupnya sudah luar biasa beruntung.


“Pa..” Andine duduk di sofa, menyapa ayahnya yang sedang membaca koran.
“Iya, Ndin.. Ada apa?” Papa menyapa Andine. “Begini, Pa.. Apa proyek ‘Ketrampilan orang Kecil’nya Mbak Sasi masih ada?”
“Ya.. Tentu saja. Kenapa memangnya, sayang?”
“Papa bisa telfonin Mbak Sasi, nggak? Aku mau ngobrol sama dia tentang proyek itu.”

“Halo, Mbak..” Andine tersenyum melihat kedatangan Sasi. Sasi, salah satu sepupunya itu, aktif dalam berbagai kegiatan kemanusiaan. Dulu, Andine paling tidak mau jika diajak oleh ayahnya untuk melakukan kegiatan sosial dengan Mbak Sasi. Ayah Andine adalah seorang anggota DPD yang cukup aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Dulu, ia tidak pernah berhasil mengajak Andine untuk ikut bersamanya mengikuti kegiatan-kegiatan itu. Dan jika sekarang Andine justru menanyakan tentang kegiatan-kegiatan sosial, ayah Andine tentu saja senang, dan berharap anaknya akan menjadi orang yang lebih baik lagi nantinya.
“Hai, Ndin. Apa kabar?”
“Baik, Mbak. Mbak sendiri gimana?
“Alhamdulillah, baik juga. Kok tumben nih kamu mencari aku? Ada apa?”
“Hehe. Iya, gini, Mbak. Aku mau tanya, apa proyek Mbak yang kemarin itu masih ada? Kalau iya, aku ingin mengirim beberapa pemulung untuk belajar kesana.” jelas Andine.
“Wah, tentu saja. Selalu terbuka tempat pelatihan itu untuk mereka, Ndin. Hehe. Tapi ngomong-ngomong, darimana kamu bisa ada pikiran untuk membawa orang untuk dilatih disini, Ndin? Kamu kenal mereka darimana?” Sasi sedikit heran, karena ia tahu bagaimana tidak sukanya Andine dalam membahas hal-hal tentang orang-orang miskin.
“Ada sebuah pengalaman yang mengajarkan aku, Mbak. Seorang pemulung sudah mengajarkan aku bahwa kemewahan yang kita miliki ini tidak akan bertahan lama. Justru kesederhanaan lah yang harus kita terapkan. Atau paling tidak, kesenangan kita sebagai orang yang bisa dibilang ‘gaulnya orang kota’ ini, di-skip dulu, deh. Dan lewat Ibu itu, Mbak, aku jadi tahu kalau kita itu sebenarnya patut miris melihat dua keadaaan berbeda yang sangat mencolok di kota ini. Disatu sisi, rumah-rumah mewah tersebar dimana-mana, mobil-mobil bagus melintasi jalan-jalan di kota ini. Disisi lain, kemiskinan justru terlihat sekali. Di kolong-kolong jembatan, masih banyak orang tidur cuma beralaskan karung. Di emperan toko, di trotoar, dimana-mana masih terlihat tuna wisma tidur dan tersiksa karena kedinginan. Dulu aku memang tidak peka dengan hal-hal itu, Mbak. Tapi setelah aku memperhatikan dan melihat keadaan itu secara langsung akhir-akhir ini, aku baru sadar kalau kita harus doing something. Dan mungkin pada tahap pertama, aku hanya bisa melakukan ini, Mbak.” Jelas Andine pelan. Ia merasa malu baru menyadari hal-hal ini sekarang.
“Iya, benar itu, Ndin. Kamu tidak usah berkecil hati. Mendengar kamu punya niat baik untuk membantu mereka, mbak sudah senang kok. Semuanya memang harus dimulai dari kita dan pemerintah, Ndin. Bagaimana caranya supaya kemiskinan bisa lebih diminimalisir. Dimulai dari melakukan hal-hal kecil seperti ini, tentu sudah baik dan bernilai. Asal kamu memang punya niat baik, tentu tidak ada salahnya. Dan harapannya adalah, mereka semua yang kita berikan kesempatan untuk menekuni satu bidang ketrampilan itu, bisa mengaplikasikannya dalam bentuk apapun setelah mereka selesai mengikuti pelatihan ini. Tapi mbak yakin, kok, jika kita tulus melakukan ini, Insya Allah apa yang sudah kita lakukan ini diridhoi. Semuanya ini tidak akan sia-sia, dan pada akhirnya kemiskinan bisa lebih diminimalisir.” Sasi tersenyum.

* * *


Empat tahun berlalu sejak insiden mobil mogok Andine, keadaan terlihat sedikit demi sedikit berubah. Maisaroh dan beberapa teman pemulungnya mengikuti pelatihan yang dianjurkan Andine. Maisaroh tidak menyangka semuanya akan jadi seperti ini. Kebaikannya membawa sebuah perubahan. Bahkan bukan hanya untuk dirinya saja, namun juga untuk orang-orang miskin lainnya. Andine saat ini sudah aktif mengikuti banyak kegiatan sosial. Kelihaiannya dalam berbicara juga membawa keberuntungan baginya. Dalam kurun waktu tiga tahun ini, ia sudah beberapa kali masuk-keluar gedung DPD dan menghimbau langsung kepada para anggota DPD untuk cepat dan tanggap menangani pemberantasan kemiskinan dikota itu. Andine bahkan meminta mereka untuk terjun langsung dan melihat sendiri bagaimana keadaan orang-orang miskin itu. Karena Andine tahu, masih banyak oknum pemerintah yang tidak selihai ayahnya, yang bersedia terjun langsung melihat keadaan tersebut dan berusaha untuk memperbaikinya. Dengan keberanian Andine berbicara tersebut, banyak anggota DPD yang berdecak kagum dan akhirnya, sedikit demi sedikit, bersedia untuk melihat dan terjun langsung seperti yang sudah dilakukan oleh ayah Andine selama ini. Dan sampai saat ini pun, pemberantasan kemiskinan di kota tersebut semakin gencar dilakukan. Kegiatan sosial dan kemanusiaan diadakan, juga pelatihan-pelatihan untuk orang-orang miskin semakin diperbanyak. Tuna wisma disediakan tempat tinggal, yang dibangun dengan biaya dari pemerintah, dan sumbangan dari kantong para pejabat itu sendiri. Dalam kurun waktu empat tahun, kemiskinan di kota tersebut berkurang, meskipun sedikit demi sedikit. Karena keseriusan pemerintah itu, penduduk kelas menengah pun mulai banyak yang tanggap dan turut membantu dalam hal moril maupun materiil.
Maisaroh saat ini sudah bekerja. Pelatihan ketrampilan menjahit yang diikutinya beberapa tahun lalu membuat kehidupannya dan Dito sedikit demi sedikit berubah. Ia sudah bisa tinggal dengan layak di rumah tinggal yang disediakan oleh pemerintah. Dan saat ini pun, Dito sudah bisa disekolahkannya. Maisaroh sungguh bersyukur, karena saat ini pemerintah sudah cepat dan tanggap untuk memberantas kemiskinan di kota itu.
Andine sudah lulus kuliah, dan sekarang berprofesi sebagai seorang pengacara. Prinsipnya yang dulu sempat ia perdebatkan dengan sang dosen tentu sudah berubah. Andine saat ini justru membela kasus orang-orang kecil yang sebenarnya tidak bersalah. Dan ia tidak ingin dibayar. Dedikasinya untuk orang-orang miskin ini membuat dosen yang dahulu pernah dilawannya di kampus berdecak kagum, terlebih saat ia mengetahui tindakan nyata yang dilakukan Andine saat ini.
Keadaan yang berubah sedikit demi sedikit itu telah menginspirasi banyak kota lain disekitar daerah itu untuk melakukan hal yang sama. Mereka salut atas keseriusan kota tersebut dalam memberantas kemiskinan dan mensejahterahkan penduduknya. Tinggal di kota yang dapat memberi teladan bagi kota maupun daerah lainnya adalah hal yang menjadi keinginan hampir semua masyarakat. Dibutuhkan keseriusan dan komitmen dari masyarakat serta pihak-pihak yang berwenang, terutama pemerintah, untuk merealisasikan keinginan itu agar pada akhirnya keseimbangan dan kesejahteraan dalam kehidupan masyarakat tersebut dapat diwujudkan.

No comments:

Post a Comment